Selasa, 08 September 2009

PROGRAM KOMPUTER LITERASI UNTUK MEMPERMUDAH AKSES INFORMASI BAGI MASYARAKAT DALAM RANGKA PENINGKATAN KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA INDONESIA

Pengertian Program Komputer Literasi

Program komputer literasi adalah program yang dikembangkan secara sistematis dan berkesinambungan yang bertujuan memampukan masyarakat dalam menggunakan komputer untuk akses informasi sesuai kebutuhannya dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Program tersebut dikembangkan dengan penyesuaian terhadap karakteristik dan kondisi masyarakat lokal yang menggunakan strategi pendekatan multi dimensi dan interdisipliner.

Pentingnya Keterlibatan Praktisi dan Akademisi Pendidikan Dalam Program Komputer Literasi.

Tujuan komputer literasi yang bukan sekedar memampukan anak bangsa dalam mengoperasionalkan komputer, tetapi lebih jauh pada peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia yang pada akhirnya akan berujung pada peningkatan kesejahteraan setiap individu bangsa Indonesia. Keterlibatan praktisi dan akademisi pendidikan tentu sangat diperlukan. Terlebih lagi jika kita melihat pada data peningkatan jumlah melek hurup dan angka yang dari tahun ke tahun terus meningkat dimana peningkatan tersebut memiliki hubungan yang signifikan dengan keterlibatan praktisi dan akademisi pendidikan. Oleh karenanya dalam pelaksanaan program Komputer Literasi harus melibatkan pula mereka yang selama ini bergelut dalam bidang pendidikan.

Di lain sisi, melibatkan praktisi dan akademisi pendidikan berarti pula dalam pelaksanaan program komputer literasi akan mempertimbangkan banyak hal. Seperti kondisi psikologis peserta didik dimana dalam proses perubahan budaya sangat berpengaruh pada perubahan psikologis peserta didik. Sedangkan kita menyadari bahwa setiap perubahan akan membawa dampak secara positif mau pun negatif. Dengan melibatkan praktisi dan akademisi pendidikan akan mampu memaksimalkan dampak positif dan meminimalisir dampak negatif dari proses perubahan budaya yang mungkin saja terjadi dikalangan peserta didik komputer literasi.

Penulis berasumsi bahwa polarisasi pendidikan berpengaruh pada terbentuknya polarisasi sosial dan polarisasi sosial berdampak pada konflik kepentingan, terlebih dengan kultur masyarakat indonesia yang cenderung masih primodial dan secara struktur budaya masyarakat Indonesia yang tidak terdidik mendapat tempat “dibawah” masyarakat terdidik. Meski asumsi ini belum pernah diuji oleh penulis namun kenyataan lapangan membuktikan bahwa masyarakat terdidik cenderung akan membentuk komunitas sendiri untuk lebih memahami potensi sumber-sumber daya dan cara memanfaatkan. Sehingga komunitas tidak terdidik termarjinalkan yang mendorong kecemburuan sosial yang berakibat timbulkan konflik. Untuk mengantisipasi hal tersebut diperlukan strategi yang tepat dalam mengembangkan program komputer literasi. Dengan demikian pendekatan multi dimensi dan interdisipliner untuk mengembangkan dan mengantisipasi dampak negatif yang ditimbulkan dari pelaksanaan program komputer literasi sangat diperlukan.

Teknis dan Strategi Dalam Program Komputer Literasi.

Manusia memiliki kecenderungan ingin memenuhi rasa keingintahuannya. Manusia juga selalu ingin menambah pengetahuan. Hal ini tentu memudahkan kita dalam meningkatkan kemampuan manusia Indonesia melalui program komputer literasi. Hanya saja tingkat pendidikan yang rendah, pola pikir yang masih tradisional, budaya yang menolak masuknya pengaruh asing, “gagap” teknologi, “paranoida” terhadap alat listrik, keterbatasan anggaran negara, keterbatasan pengajar yang menguasai komputer dan hal-hal lain yang melekat dimayoritas bangsa Indonesia, mungkin saja akan menjadi faktor resistan dari pelaksanaan komputer literasi. Karena itu diperlukan teknis dan strategi yang tepat serta berkesinambungan dalam pembelajaran komputer literasi. Strategi yang tepat tersebut antara lain seperti contoh berikut.

Bagi masyarakat umum terutama yang tinggal di daerah pedesaan tentu agak sulit membelajarkan mereka tentang komputer literasi. Terlebih lagi bagi mereka yang buta hurup atau berpendidikan sangat rendah (tidak lulus SD). Untuk masyarakat seperti itu beberapa strategi yang dapat diterapkan dalam program komputer literasi antara lain:

1. Pendekatan Kebutuhan Berdasarkan Tipikal Komunitas (Need Assesment of Community Tipical Base Approach)

Secara umum gambaran manusia Indonesia seperti kata Mochtar Lubis (1990) dalam bukunya yang kontroversial menyebutkan 19 ciri manusia Indonesia yaitu: (1) munafik (hipokrit), (2) enggan bertanggung jawab, (3) feodal, (4) percaya tahayul, (5) artistik, (6) berwatak lemah, (7) boros, (8) tidak suka bekerja keras kecuali terpaksa, (9) kurang sabar, (10) tukang menggerutu tertutup, (11) cepat cemburu dan dengki, (12) gampang senang dan bangga, (13) manusia sok, (14) tukang tiru, (15) senang bermalas-malas, (16) berhati lembut dan suka damai, (17) humoris, (18) cepat belajar dan berlatih, dan (19) penyabar. Pendapat Mochtar Lubis ini ada yang kontradiktif pada butir 9 dengan butir 19.[1] Sementara itu Koentjaraningrat (2002) juga mengatakan bahwa mentalitas bangsa Indonesia adalah: (1) meremehkan mutu, (2) suka menerabas, (3) tak percaya diri, (4) tak berdisiplin murni, (5) tak bertanggung jawab, dan (6) senang bergotong royong (kerja bakti). Budiarto Shambazy (2005) menambahkan ciri manusia Indonesia lainnya adalah: (1) senang bernostalgia, (2) cepat marah, (3) tukang lego, (4) mengutamakan gengsi, (5) pemalas, (6) konsumtif, (7) angkuh, dan (8) ahli rekayasa. Pendapat kedua pengarang ini (suka menerabas dan cepat marah) bertentangan dengan pendapat Mochtar Lubis (penyabar). [2]

Meski pendapat-pendapat diatas lebih melihat sisi-sisi sifat buruk manusia Indonesia tetapi tentu tidak dapat digeneralisir. Karena sesungguhnya manusia Indonesia sendiri tidak jelas etnik mana yang mewakilinya. Kebanyakan ahli menyebut manusia Indonesia berdasarkan kewarganegaraannya. Padahal warga negara Indonesia terdiri dari multi etnik. Kalau pun pendapat diatas benar, manusia memiliki sifat-sifat yang universal. Sifat-sifat universal tersebut, antara lain: keingintahuan yang tinggi, pada dasarnya manusia bersifat baik (Al Qur’an: Hanif), selalu belajar, karakter yang cenderung berubah berdasarkan pengetahuan, menginginkan rasa aman dalam segala hal, dan menginginkan kesejahteraan yang lebih baik Berkaitan dengan sifat manusia yang universal tersebut, Maslow dalam teorinya mengatakan:

“Perubahan perilaku bagi orang dewasa terjadi melalui adanya proses pendidikan yang berkaitan dengan perkembangan dirinya sebagai individu, dan dalam hal ini, sangat memungkinkan adanya partisipasi dalam kehidupan sosial untuk meningkatkan kesejahteraan diri sendiri, maupun kesejahteraan bagi orang lain, disebabkan produktivitas yang lebih meningkat. Bagi orang dewasa pemenuhan kebutuhannya sangat mendasar, sehingga setelah kebutuhan itu terpenuhi ia dapat beralih ke arah usaha pemenuhan kebutuhan lain yang lebih masih diperlukannya sebagai penyempurnaan hidupnya”[3]

Gambar Pramida Kebutuhan Menurut Maslow

Dengan merujuk pada sifat manusia Indonesia baik yang bersifat universal dan etnik bahkan berdasarkan kondisi lingkungannya yang berbeda-beda, maka perlu dilakukan pendekatan kebutuhan manusia dengan mempertimbangkan kondisi universalitas dan etnik serta kondisi lingkungannya. Manusia perkotaan (Urban) tentu berbeda dengan pedesaan (Rural). Masyarakat nelayan (Maritim) tentu berbeda dengan masyarakat petani (Agraris). Masyarakat berpendidikan formal tentu berbeda dengan masyarakat berpendidikan nonformal dan informal, dan seterusnya, dan seterusnya.

  1. Pendekatan Pembelajaran Orang Dewasa (Adult Educations Base Approach)

Orang dewasa cenderung belajar berdasarkan kebutuhan yang membawa manfaat secara langsung. Selain itu orang dewasa akan belajar bila hal tersebut merupakan sesuai yang baru dan menarik bagi dirinya. Orang dewasa cenderung ingin merasa lebih pintar dari anak-anak sehingga orang dewasa menginginkan dapat dijadikan teladan atau sumber pelajaran bagi anak-anak meski hanya satu bidang tertentu. Orang dewasa cenderung merasa memiliki pengalaman terhadap cara belajar mengajar, oleh karenanya orang dewasa tidak menyukai cara belajar klasikal karena menurutnya itu cara yang tepat bagi anak-anak. Orang dewasa lebih suka belajar dengan cara diskusi dan praktek langsung, sehingga memungkinkan menyembunyikan “rasa malu” dari ketidak mampuannya.

Edgar Dale dalam Kerucut Pengalaman Dale (Dale’s Cone Experience) dalam Azhar mengatakan:

“hasil belajar seseorang diperoleh melalui pengalaman langsung (kongkrit), kenyataan yang ada dilingkungan kehidupan seseorang kemudian melalui benda tiruan, sampai kepada lambang verbal (abstrak). Semakin keatas puncak kerucut semakin abstrak media penyampai pesan itu. Proses belajar dan interaksi mengajar tidak harus dari pengalaman langsung, tetapi dimulai dengan jenis pengalaman yang paling sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan kelompok siswa yang dihadapi dengan mempertimbangkan situasi belajar”. Pengalama langsung akan memberikan informasi dan gagasan yang terkandung dalam pengalaman itu, oleh karena ia melibatkan indera penglihatan, pendengaran, perasaan, penciuman, dan peraba”. [4]

Gambar Kerucut Edgar Dale

Jarvis mengatakan: Pendidikan pengalaman tidak hanya mendatangkan pengetahuan baru, keterampilan baru, dan perilaku baru. Tetapi juga membentuk pribadi yang disebut “seseorang”.[5]

Menurut Jarvish seperti gambar berikut, pengalaman terbentuk dari hasil interaksi seseorang dengan orang lain. Pengalaman juga merupakan umpan balik dari hasil refleksi pengalaman itu sendiri. Refleksi pengalaman akan membuat individu mampu mengkoreksi (penulis: juga meredefinisi) apa yang diyakini sebelumnya. Hasil koreksi pun akan membentuk pengalaman baru setelah terjadi interaksi berikut dan berikutnya.

Gambar Model Pendidikan Orang Dewasa Menurut Jarvish

Levie dan Levie dalam buku media pembelajaran Azhar Arsyad[6] mengatakan:

“bahwa stimulus visual dan verbal membuahkan hasil belajar yang lebih baik untuk tugas-tugas seperti mengingat, mengenali, mengingat kembali, dan menghubung-hubungkan fakta dan konsep. Di lain pihak, stimulus verbal memberi hasil belajar yang lebih apabila pembelajaran itu melibatkan ingatan yang berurutan (sekuensial). Hal ini merupakan salah satu bukti dukungan atas konsep dual coding hypothesis (hipotesis koding ganda). Konsep itu mengatakan bahwa ada dua sistem ingatan manusia, satu untuk mengolah simbol-simbol verbal kemudian menyimpannya dalam proposisi image, dan lainnya untuk mengolah image nonverbal yang kemudian disimpan da;am proposisi verbal”.

Perbandingan memperolehan hasil belajar melalui indera pandang dan indera dengar sangat menonjol perbedaannya. Kurang lebih 75% hasil belajar seseorang diperoleh melalui indera pandang, dan hanya sekitar 13% diperoleh melalui indera dengar dan 12% lagi dari indera lainnya (Dale). Sementara Paivio mengatakan 95% untuk indera lihat dan 5% untuk indera dengar dan 5% untuk indera lainnya.[7]

Berangkat dari teori-teori tersebut diatas nampak jelas pendekatan pendidikan orang dewasa sangat diperlukan dalam pelaksanaan program komputer literasi sebagai suatu strategi.

  1. Pendekatan Computer Assisted Instruction (CAI).

Prof. Dr. Nasution, MA. Dalam bukunya yang berjudul Tehnologi Pendidikan 1982 mengatakan:

Komputer sebagai alat pelajaran (CAI atau Computer Assisted Instruction) mempunyai sejumlah keuntungan: (1) Ia dapat membantu murid dan guru dalam pelajaran. Karena komputer itu “sabar, cermat, mempunyai ingatan yang sempurna”, ia sesuai sekali untuk latihan dan remedial teaching. Tak ada guru yang dapat memberikan latihan tanpa jemu-jemunya seperti komputer; (2) CAI memiliki banyak kemampuan yang dapat dimanfaatkan segera seperti membuat hitungan atau memproduksi grafik, gambaran dan memberikan bermacam-macam informasi yang tak mungkin dikuasai oleh manusia mana pun; (3) CAI sangat fleksibel dalam mengajar dan dapat diatur menurut keinginan penulis pelajaran atau penyusunan kurikulum; (4) CAI dan mengajar oleh guru dapat saling melengkapi. Bila komputer tidak dapat menjawab pertanyaan murid dengan sendirinya guru akan menjawabnya. Ada kalanya komputer dapat memberikan jawaban yang tak dapat segera dijawab oleh guru; (5) Selain itu komputer dapat pula menilai hasil setiap pelajar dengan segera.[8]

Nasution dalam buku yang sama, mengatakan pula, bahwa: Dalam proses belajar dengan komputer setiap murid secara individual menghadapi komputer dalam mata pelajaran menurut keinginan masing-masing. Pelajaran telah di program secara cermat dan tiap murid dibimbing langkah demi langkah sampai dikuasainya.[9]

Arsyad melihat menyarankan mengenai bahwa faktor pendukung keberhasilan CAI, adalah:

(1) Belajar harus menyenangkan. Ada tiga unsur belajar dapat menyenangkan, yaitu: menantang, fantasi dan ingin tahu; (2) Interaktivitas dengan harus mempertimbangkan, dukungan komputer yang dinamis, dukungan sosial yang dinamis, aktif dan interaktif, keluasan, power. (3) Kesempatan berlatih harus memotivasi, cocok dan tersedia feedback; (4) Melatih dan menuntun siswa di lingkungan informal. Mengenai multimedia berbasis komputer, multimedia bisa berupa kombinasi antara teks, grafik, animasi, suara, dan video. Penggabungan ini merupakan suatu kesatuan yang secara bersama-sama menampilkan informasi, pesan atau isi pelajaran. Konsep penggabungan ini dengan sendirinya memerlukan beberapa jenis peralatan perangkat keras yang masing-masing tetap menjalankan fungsi utamanya sebagai mana biasanya, dan komputer merupakan pengendali semua peralatan itu. Jenis peralatan ini adalah komputer, video kamera, video cassette recorder (VCR), overhead projector, multivision (atau sejenisnya), CD dan CD player, yang sebelumnya merupakan peralatan tambahan (external peripheral) komputer, sekarang sudah menjadi bagian unit komputer tertentu. Kesemua peralatan itu haruslah kompak dan bekerja sama dalam penyampaian informasi kepada pemakai.[10]

4. Pendekatan Seni dan Budaya Suku (Etnic Art and Cultur Base Approach).

Setiap suku (etnik) di Indonesia memiliki bidaya sendiri-sendiri. Karya-karya kebudayaan suku dapat dimanfaatkan untuk pelaksanaan program komputer literasi. Pendekatan budaya dalam peningkatan suatu komunitas dibanyak tempat membuahkan hasil maksimal. Oleh karenanya pendekatan budaya etnik dapat dilakukan sebagai satu strategi pembelajaran dalam pelaksanaan program komputer literasi bagi masyarakat Indonesia. Contoh pendekatan budaya etnik dimaksud antara lain ialah:

1) Mengemas program komputer literasi dengan memanfaatkan budaya setempat yang disukai masyarakat. Misalnya, orang jawa yang suka Ludruk atau Wayang Orang dapat disuguhkan pertunjukan Ludruk atau Wayang yang didalam ceritanya sudah dikemas tentang pembelajaran dan pemanfaatan komputer untuk akses informasi. Bagi penduduk miskin di pinggiran Jakarta yang suka pertunjukan Musik Dangdut dan Layar Tancap, dapat disuguhkan pertunjukan Dangdut Komputer dan Layar Tancap Menggunakan Infocus misalnya.

2) Bagi masyarakat nelayan diajarkan membaca lokasi keberadaan ikan menggunakan Gelombang Sonar yang dipantau dengan komputer;

3) Masyarakat Petani dapat diajarkan untuk mencari informasi di Internet tentang pertanian dan pemasaran hasil produksi pertanian melalui penggunaan komputer untuk pertanian.

  1. Pendekatan Agama (Religious Base Approach).

Masyarakat Indonesia yang religius cenderung membentuk kelompok-kelompok kegiatan yang terkait dengan agama yang dianutnya. Pembentukan kelompok ini biasanya ditujukan untuk meningkatkan kualitas pemahamannya terhadap agama terkait dengan kesadarannya dalam beribadah kepada Tuhan. Kelompok-kelompok agama ini biasanya masih bersifat tradisional, dan kebanyakan hanya “melulu” membahas persoalan agama, surga dan neraka, serta pengabdian diri kepada Tuhan. Atas nama Tuhan mereka umumnya ingin berada dalam “perjuangan” menegakan kebenaran Tuhan. Artinya, bagi mereka adalah agama lain tidak benar karena mengingkari kebenaran tentang Tuhan. Hanya agamanya yang mereka anggap paling benar. Oleh karenanya, mereka sering kali merasa dengan memusuhi agama lain[11]. Tidak heran kelompok agama yang seperti ini cenderung membentuk umat menjadi “sempit” pemikirannya serta radikal. Bagi kelompok seperti ini tidak ada agama lain yang benar selain agama yang dianutnya. Padahal agamanya sendiri rata-rata menganjurkan untuk membahas persoalan sosial dan pendidikan untuk kesejahteraan umat serta menjaga harmonisasi kehidupan antar umat beragama.

Melihat kondisi masyarakat yang religius tersebut, dalam program komputer literasi, sudah seharusnya kelompok-kelompok agama juga menjadi sasaran kegiatan. Hal ini dimaksudkan, selain untuk memberikan pembelajaran kepada mereka tentang komputer dan pemanfaatannya, juga dapat dijadikan sebagai alat untuk membawa masyarakat pada pemikiran-pemikiran agama yang lebih moderat, toleran terhadap agama lain, sehingga radikalisme yang destruktif dapat diredam.

Terkait dengan strategi pembelajaran komputer literasi dengan pendekatan agama ini, sangat diperlukan penglibatkan tokoh agama dalam mengembangkan program komputer. Agar pembelajaran yang dilaksanakan tidak melanggar kaidah-kaidah dan nilai-nilai keyakinan yang sesuai dengan agama yang dianut masyarakat.

  1. Pendekatan Pusat-Pusat Pendidikan (Educations Center Base Approach)

Di masyarakat banyak terdapat pusat-pusat pendidikan. Sekolah dan tempat-tempat kursus, pesantren, dan lain sebagainya. Tempat-tempat tersebut memiliki nilai strategis untuk pembelajaran komputer literasi.

Sudah banyak memang lembaga-lembaga pendidikan yang menyelenggarakan pembelajaran komputer literasi, tetapi masih banyak pula yang masih belum melaksanakan.

Agar program komputer literasi dapat berjalan secara maksimal dan menjangkau sebanyak-banyaknya warga negara Indonesia, memanfaatkan lembaga-lembaga pendidikan sebagai strateginya adalah sangat penting. Untuk itu diperlukan kebijakan dari instansi terkait. Sudah barang tentu para pengajar dilembaga-lembaga tersebut juga harus dimampukan dalam penggunaan komputer. Karena bukannya tidak mungkin sebagian dari mereka masih buta komputer sama sekali, terutama bagi mereka yang berada di daerah-daerah tertinggal.

  1. Pendekatan Komunitas (Community Base Approach)

Banyak teori dari berbagai disiplin keilmuan mengatakan bahwa manusia cenderung membentuk kelompok-kelompok. Kelompok-kelompok tersebut biasanya terbentuk berdasarkan, antara lain: pekerjaannya, geografisnya, kebutuhannya, keyakinannya, pendididikannya, dan lain sebagainya. Kecenderungan tersebut tentu dapat dimanfaatkan untuk menerapkan strategi pelaksanaan program komputer literasi.

  1. Pendekatan Pusat Berkumpul Komunitas (Community Center Base Approach).

Selain pendekatan komunitas diatas yang didasari atas kelompok-kelompok yang terbentuk, juga biasanya suatu komunitas memiliki tempat berkumpul. Karena biasanya satu individu dapat masuk kepada lebih dari satu komunitas. Misalnya, seorang yang bekerja akan menjadi suatu komunitas di tempat kerjanya. Tetapi di lain waktu ia menjadi suatu komunitas atau berada disuatu komunitas yang sama sekali tidak terkait dengan pekerjaannya. Oleh karenanya, tempat berkumpul suatu komunitas dapat dijadikan strategi pendekatan untuk pelaksanaan program komputer literasi.

  1. Pendekatan Organisasi Masyarakat (Community Organizations Base Approach)

Setelah masa orde baru berakhir dan munculnya masa keterbukaan dan demokrasi di Indonesia, banyak organisasi masyarakat yang timbul. Organisasi tersebut baik bersifat resmi mau pun tidak resmi. Kebanyakan organisasi tersebut bersifat independen. Tetapi banyak pula yang berada dibawah organisasi lain yang lebih besar, seperti organisasi politik.

Tidak ada data resmi tentang jumlah organisasi masyarakat di Indonesia. Namun sangat banyak keberadaannya. Terlebih lagi di Indonesia lebih kurang terdapat 67.000 Desa dan Kelurahan[12]. Belum lagi hampir diseluruh Desa dan Kelurahan terdapat Organisasi Masyarakat resmi yang bernama PKK, Karang Taruna, Posyandu, dan lain sebagainya. Selain itu, setiap Desa dan Kelurahan memiliki struktur organisasi. Dibawah organisasi Desa tersebut masih ada lagi organisasi yang disebut Dusun[13]. Dibawah Dusun ada RK (Rukun Keluarga) dan atau RW (Rukun Warga). Dibawah RK dan RW ada lagi Rukun Tetangga (RT).

Menggunakan strategi pendekatan organisasi masyarakat baik organisasi resmi atau tidak resmi merupakan strategi yang dapat diterapkan dalam pelaksanaan program komputer literasi. Hanya diperlukan seperangkat kebiajakan baik kebijakan hukum dan anggaran serta pemantauannya untuk pelaksanaan program komputer literasi tersebut.

  1. Pendekatan Kebijakan Pelayanan Publik (Community Service Policy Base Approach)

Setiap masyarakat Indonesia tentu pernah menggunakan pelayanan publik yang tersedia. Kecuali untuk masyarakat terasing dan terpencil. Lembaga pelayanan publik tersebut seperti Kantor Kelurahan untuk kependudukan, Puskesmas untuk kesehatan, dan lain sebagainya.

Pendekatan melalui pusat pelayanan publik tersebut juga harus dilakukan. Misalnya untuk kepentingan kependudukan dilakukan komputerisasi. Sehingga warga yang membuat KTP setidak-tidaknya akan berhubungan dengan komputer. Petugas urusan KTP di Kelurahan dapat sedikit mengisi dengan memperkenalkan komputer kepada warga yang hendak membuat KTP tersebut. Sehingga warga akan sedikit demi sedikit tahu guna dan manfaat dari komputer.

Perlunya Kebijakan Negara

Mengingat program komputer literasi ini memiliki sasaran yang cukup luas dan menjangkau banyak lapisan masyarakat, diperlukan adanya kebijakan negara untuk hal ini. Kebijakan tersebut agar pelaksana kegiatan memiliki “payung” hukum. Selain itu dengan kebijakan negara akan dapat mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan adanya penyalahgunaan dari orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Karena dengan dalam pelaksanaan program komputer literasi yang menjangkau masyarakat secara luas diperlukan anggaran yang tidak sedikit. Hal ini tentu membuat rawan penyimpangan-penyimpangan dan penyalahgunaan. Kebijakan tersebut juga harus memberikan wewenang kepada lembaga penegak hukum (KPK, Kejaksaan, Kehakiman, Kepolisian, dan Tim Khusus yang mungkin akan dibentuk) untuk melakukan tindakan preventif dan sanksi hukum sesuai aturan yang ditetapkan jika penyimpangan atau penyalahgunaan terjadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar